Oleh: Yudhi Koesworodjati
JABARPASS – Industri pariwisata bisa dibilang merupakan industri terbesar di dunia dan telah tumbuh pesat selama beberapa dekade terakhir.
Ekosistem wisata menempatkan wisatawan sebagai kekuatan inti bisnis pariwisata (core of tourism). Mereka bukan hanya sebagai pengguna atau pemanfaat objek wisata yang penuh pesona, tapi juga sebagai produsen.
Namun sangat disayangkan akhir-akhir ini seringkali kita dipaparkan berita semakin banyaknya perilaku wisatawan domestik ataupun mancanegara yang tidak terpuji, yang tidak peduli dan tidak bertanggung jawab.
Semakin masif wisatawan yang menyimpang, tidak taat aturan atau tidak mengerti adat istiadat atau tradisi muatan budaya lokal yang juga sebagai bagian dari dampak sosial tersebut sehingga destinasi berkurang keindahannya, rusaknya objek wisata dan fasilitas pendukungnya akibat ulah tak bertanggung jawab pengunjung.
Inilah mengapa kita harus mendahulukan ‘mempariwisatakan masyarakat’ dengan pendekatan benefit, ketimbang “memasyarakatkan pariwisata” yang juga dengan pertimbangkan benefit.
Pemahaman perkembangan kepariwisataan untuk peningkatan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di destinasi adalah dua muka dari koin yang sama. Kita sebagai wisatawan (misalnya ke Kyoto atau Tokyo, atau Eropa) tidak mungkin nyampah sesuka hati karena sapta pesona penduduk setempat sudah membudaya sehingga wisatawan mengikuti.
Bila destinasi menerapkan sapta pesona dengan utuh, maka wisatawan yang datang adalah wisatawan yang berperilaku baik, sebaliknya jika penerapan sapta pesona destinasinya buruk, maka wisatawan yang datang adalah wisatawan yang berperilaku buruk.
Wisatawan pasti menghormati, menghargai dan turut menjaga kualitas lingkungan destinasi.
Sebuah siklus dari bisnis wisata adalah konsumen dan produsen yang terikat pada prinsip “memelihara sesuatu yang dibentuk dan digunakan untuk jangka waktu yang panjang”.
Berwisata tak melulu memikirkan kesenangan semata tetapi ada tanggung jawab yang harus disadari setiap wisatawan untuk membuat alam terus terjaga, karena tanpa menjaganya tidak akan tercapai pariwisata yang berkelanjutan. Wisata alam, multi-kuliner, entitas yang berkearifan lokal perlu dijaga dan dilestarikan, bukan dirusak. Jika mengalami kerusakan perlu waktu lama pemulihan atau recovery-nya.
Sejauh ini label pariwisata yang bertanggung jawab merupakan istilah yang paling banyak digunakan dalam industri perjalanan dan pariwisata yang berfokus pada keberlanjutan. Lebih dari separuh (53%) wisatawan di seluruh dunia ingin bepergian secara lebih berkelanjutan di masa depan. Berwisata secara bertanggung jawab dapat memberikan pengalaman liburan yang lebih berkesan.
Artinya, kita tidak sekadar lewat, tetapi secara aktif berkontribusi terhadap tempat yang kita kunjungi dan orang-orang yang tinggal di sana.
Wisatawan yang bertanggung jawab akan selalu mengutamakan meminimalisasi dampak negatif dan memaksimalkan kontribusi positif terhadap destinasi yang dikunjunginya, termasuk lingkungan, masyarakat setempat dan budaya. Ini berarti wisatawan harus memperhatikan tindakan dan pilihan mereka selama perjalanan seperti mendukung bisnis lokal, menghormati norma budaya dan mengurangi dampak lingkungan.
Pariwisata tanggung jawab adalah pariwisata yang menunjukkan perilaku bertanggung jawab. Pariwisata yang bertanggung jawab telah menjadi bidang penelitian dan praktik pariwisata yang mapan dan menjadi istilah yang dikenal masyarakat luas.
Pariwisata bertanggung jawab besandar pada filosofi dasar memanfaatkan sumber daya lingkungan secara optimal yang merupakan elemen kunci dalam pengembangan pariwisata, pentingnya menjaga proses ekologi dan membantu melestarikan warisan alam dan keanekaragaman hayati.
Industri pariwisata harus terus mengadopsi praktik yang lebih berorientasi lingkungan dan bertanggung jawab secara sosial.
Pemangku kepentingan industri pariwisata dan wisatawan harus diimbangi dengan kesadaran wisata yang dapat diawali dengan disiplin mematuhi aturan yang berlaku serta kesadaran bahwa objek wisata adalah fasilitas umum yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas dan bukan untuk segelintir orang. Pemerintah harus berani untuk secara resmi meminta wisatawan berjanji untuk menghormati budaya dan lingkungan mereka ketika berkunjung.
Wisatawan dituntut untuk memiliki kesadaran wisata agar dapat menghargai masyarakat lokal dan destinasi untuk dapat menjaga dan melakukan pemulihan yang dilakukan secara bersama-sama.
Tidak perlu harus ada papan pengumuman atau pun peringatan untuk berlaku bertanggung jawab. Kebiasaan yang ditanamkan pada diri sendiri untuk bertanggung jawab secara sadar dan cerdas (eco-friendly travelers) atas apa yang dilakukannya di alam agar tidak terjadi degradasi kebudayaan dan lingkungan terutama sampah, energi dan air.
Semakin bertanggung jawab kiranya akan semakin menyejahterakan.
Hargai keaslian sosial budaya masyarakat tuan rumah, lestarikan warisan budaya yang dibangun serta nilai-nilai kehidupan tradisional, dan berkontribusi pada pemahaman dan toleransi antar budaya.
Memastikan operasi ekonomi yang layak dan berjangka panjang, menyediakan manfaat sosial ekonomi bagi semua pemangku kepentingan yang didistribusikan secara adil, termasuk pekerjaan yang stabil dan peluang memperoleh penghasilan serta layanan sosial bagi masyarakat tuan rumah dan berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan.
Aspek kunci untuk memastikan tercapainya pariwisata berkelanjutan adalah melalui perencanaan dan pengelolaan yang cermat. Pariwisata bertanggung jawab yang unggul mencakup dekarbonisasi perjalanan dan pariwisata, mampu menopang penggiat wisata dan masyarakat setempat, destinasi yang dibangun dengan lebih baik dari waktu ke waktu, meningkatkan keberagaman dalam pariwisata, mengurangi sampah plastik dan menumbuhkan manfaat ekonomi lokal.
Dengan demikian kita akan sampai pada pemahaman bahwa inti dari perjalanan dan pariwisata yang bertanggung jawab adalah prinsip bahwa tempat yang lebih baik untuk ditinggali adalah tempat yang lebih baik untuk dikunjungi.
(Yudhi Koesworodjati, Dosen Tetap Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pasundan dan Pemerhati Pariwisata).







